-->

Makalah: Fenomena Sekolah Unggul Dan Sekolah Mahal

Fenomena Sekolah Unggul Dan Sekolah Mahal

Fenomena Sekolah Unggul Dan Sekolah Mahal

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pada zaman sekarang, banyak sekolah mempunyai sikap percaya diri yang berlebihan dengan berbagai ilusi konsep - konsep sekolah unggulan, sekolah pemimpin masa depan, atau lebih parah lagi pendidikan unggul. Birokrat-birokrat di lembaga - lembaga pengajaran formal itu merasa mampu melakukan segalanya asal di bayar. Itu sebabnya sekolah - sekolah dikatakan terbaik, tetapi sebenarnya tidak jelas bedanya dengan termahal. Dengan demikian lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa pendidikan yang baik adalah lembaga yang mahal. Mahal sama dengan bermutu, bahkan jika uang sekolahnya murah artinya buruk atau tidak bermutu. Paradigma semacam ini dipertegas oleh perusahaan yang dipimpin oleh orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran dan pendidikan sejati kecuali sekedar mencari atau membeli ketrampilan dan kepribadian para sarjana dari sekolah - sekolah mahal.

B.Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan pendidikan?
2.Jelaskan pengertian sekolah Mahal?
3.Jelaskan pengertian sekolah Unggul?

C.Tujuan
1.Agar mahasiswa dapat lebih mengetahui tentang definisi fenomena Sekolah Mahal dan Sekolah Unggul.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Pendidikan
Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, 1889 - 1959) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.

Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143 H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah) mengatakan bahwa : Pendidikan itu ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, tentang Pengertian Pendidikan , yang berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari beberapa Pengertian Pendidikan diatas dapat disimpulkan mengenai Pendidikan, bahwa Pendidikan merupakan Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.[1]

B.Fenomena Sekolah Mahal
Laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, bahkan oleh Bank Dunia disebut ajaib, di negara kita ternyata berdampak secara positif terhadap munculnya sekolah-sekolah yang berfasilitas memadai. Kalau kita perhatikan dalam beberapa tahun yang terakhir ini telah muncul sekolah-sekolah yang fasilitasnya sangat memadai. Fasilitas yang disediakan oleh sekolah-sekolah tersebut terhitung sangat memadai untuk rata-rata sekolah di Indonesia, misalnya saja bangunannya yang megah, ruang belajarnya yang sejuk dan ber-AC, buku-buku perpustakaannya yang lengkap, sarana olahragan yang memadai, guru yang profesional, suasana belajarnya yang akademis, dan sebagainya.

Tentu hadirnya sekolah-sekolah yang berfasilitas memadai tersebut layak mendapat sambutan karena sarana pendidikan dan fasilitas belajar yang memadai dapat menumbuhkan suasana aka-demis yang memadai pula yang pada akhirnya akan menghantarkan pencapaian prestasi belajar siswa secara memuaskan. Secara fisik memang demikianlah seharusnya kita dalam menyelenggarakan sekolah bagi putra-putra bangsa kita. Sekarang sudah tidak jamannya lagi menyelenggarakan sekolah dengan bangunan yang tidak kokoh, atapnya bocor, dindingnya berlubang, perpustakaannya tidak ada, fasilitas olahraganya memprihatinkan, manajemennya seadanya, dan penguasaan ilmu gurunya sudah "out of date".

Bahwa dalam realitanya sampai sekarang masih banyak ditemui sekolah yang "tertinggal" hal itu justru menjadi tantangan kita bersama untuk segera membenahinya.

Itulah sebabnya kalau kemudian ada kelompok masyarakat yang mau dan mampu membangun sekolah-sekolah baru dengan fasilitas yang memadai pasti disambut gembira oleh masyarakat. Kiranya amat wajar dan bisa kita mengerti bahwa sekolah-sekolah tersebut memer-lukan biaya tinggi untuk operasionalnya. Tingginya biaya operasional ini tidak membawa permasalahan bagi kita,permasalahan itu baru muncul ketika sampai pada soal siapa yang harus memikul beaya operasional yang tinggi itu.

Dari nama-nama sekolah tersebut ternyata masing-masing punya kebijakan yang berbeda-beda dalam memecahkan masalah tingginya beaya operasional. Muncullah kemudian istilah "sekolah mahal",yaitu sekolah-sekolah yang siswa atau orang tuanya harus membayar mahal untuk menutup biaya operasional yang tinggi itu .Mahalnya biaya yang harus dipikul oleh siswa atau orang tuanya tersebut menyebabkan tidak semua orang tua mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah itu. Sekolah-sekolah mahal tersebut akhirnya hanya dapat dimasuki oleh kelompok masyarakat berekonomi tinggi, sehingga ada yang menyebut sekolah mahal sebagai sekolah eksklusif. Memang eksklusif bila dilihat dari asal siswanya, meskipun terkadang tidak eksklusif bila dilihat dari sistem pendidikannya. Hadirnya sekolah-sekolah mahal tersebut ternyata mengundang berbagai respon masyarakat, dari respon yang positif sampai respon yang negatif. Sekolah-sekolah mahal tersebut bisa membendung anak-anak kita yang akan belajar ke luar negeri, bahkan dalam beberapa tahun ke depan dapat "menarik" anak-anak manca negara untuk belajar ke negara kita dalam skala nasional tentu hal ini merupakan investasi. Sebaliknya ada juga pihak-pihak yang merespon negatif dengan menyatakan "keberatan" menyangkut aspek sosialisasi lulusannya. Bila siswanya saja eksklusif lalu bagaimana sosialisasinya nanti, kemudian bagaimana pula kalau mereka menjadi pemimpin bangsa kelak.

Laju pertumbuhan ekonomi yang belum diikuti dengan efektifnya pemerataan telah menimbulkan garis-garis segmentatif antar kelompok ekonomi, dari  kelompok ekonomi tinggi, menengah, rendah, sampai sangat rendah. Hadirnya sekolah mahal tidak bisa memenuhi keinginan masyarakat kelompok ekonomi tinggi meskipun bukan berarti kelompok masyarakat lainnya tidak ingin mendapatkan pelayanan dari sekolah yang berfasilitas memadai. Kalau memang sekolah mahal ini dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sekualitas pendidikan di luar negeri, tentu saja yang bermutu, apa salahnya mereka menyekolahkan putra-putrinya tidak di luar negeri cukup di Indonesia saja.

Sekolah-sekolah mahal tersebut apabila kualitasnya benar-benar kompetitif pasti dapat "menarik" siswa dari luar negeri, bukankah ini merupakan investasi. Sudah barang tentu terminologi investasi di sini tidak dimaksudkan untuk mengurangi dan mengaburkan fungsi sosial lembaga pendidikan sebagaimana yang diatur di dalam UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Secara empirik sekolah-sekolah di luar negeri yang dapat "menarik" siswa asing pada umumnya juga memungut beaya mahal. Sebagai misal di Melbourne,Victoria, Australia setidak-tidaknya ada dua seko-lah yang bonafide; yaitu Methodist Ladies College (MLC) dan The Westbourne School (WS). Untuk menjadi siswa MLC, primary atau secondary, setiap tahunnya harus menyediakan dana paling tidak A$ 10.000 atau sekitar 16,5 juta rupiah. Meski demikian sekolah ini tetap "laris" karena terbukti banyak orang tua yang berminat; sekarang ada 2.800-an siswa MLC. Kondisi WS juga sama dengan MLC. Sekolah-sekolah serupa di negara lain demikian pula keadaannya; misalnya saja Sri Kuning dan KTJ di Kuala Lumpur Malaysia, Showa Woman School di Tokyo Jepang, Hsin Shing Technical and Commercial High School (HSTCHS) di Taoyuan Taiwan, dan sebagainya. Tetapi bagaimana dengan konsep horizontalitas pendidikan yang dipesankan Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara? Dalam hal ini Ki Hadjar menyatakan bahwa sekolah itu merupakan pengabdian untuk rakyat banyak sehingga pelayanan untuk rakyat banyak harus didahulukan tanpa dengan mengorbankan kualitas.

Kalau saja sekolah-sekolah mahal tersebut dapat mengalokasikan 10%-25% kursi belajarnya dengan biaya murah bagi putra-putra kita yang berasal dari kelompok masyarakat berekonomi menengah dan rendah kiranya akan berkuranglah polemik tentang kehadiran sekolah-sekolah mahal tersebut. Lebih dari pada itu konsep horizontalitas pendidikan tersebut juga lebih bisa direalisasi tanpa harus mengorbankan mutu. Sistem pengalokasian ini kiranya juga bisa mengeliminasi, atau setidaknya  bisa mengurangi kekhawatiran atas aspek sosialisasi para lulusannya nanti. [2]

C.Fenomena Sekolah Unggulan.
Kelahiran sekolah unggulan pada dasarnya tidak terlepas dari upaya peningkatan dan pengembangan kualitas SDM, terutama menyongsong pembangunan jangka panjang II dan diresmikannya program wajib belajar 9 tahun. Salah satu tujuannya adalah menjaring sekaligus mengembangkan kader bangsa yang baik dalam artian memiliki kelebihan dari berbagai aspek dibandingkan dengan kader – kader bangsa pada umumnya sehingga ia mampu mengantisipasi dan menjawab berbagai tantangan zaman.

Namun, Sekolah unggulan ini perlu dicermati kembali, karena ada yang kurang kata unggul menyiratkan super otoritas atas sekolah yang lain, sekaligus menunjukkan kesombongan intelektual yang sengaja ditanamkan lingkungan sekolah atas sekolah yang lain. Dalam konsep sekolah unggulan yang ada sekarang diterapkan sekedar untuk menciptakan prestasi siswa, dirancang kurikulum yang sarat muatan , diajar guru – guru yang berkualitas, dengan sarana yang bagus, tapi biayanya sangat mahal. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, dapat dicapai dengan seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Mulai dari tenaga administrasi, pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan, termasuk masyarakat harus dilibatkan secara berdaya guna, karena sumberdaya itu akan dapat menciptakan iklim dan kultur yang mampu membentuk keunggulan sekolah.

1.Tipe – Tipe dan Definisi Sekolah Unggulan.
Untuk mengetahui akan definisi dari sekolah unggulan, sebaiknya kita mengetahui akan konsep tentang sekolah unggulan.

a.Tipe Pertama
Yaitu dimana sekolah menerima dan menyeleksi secara ketat siswa yang masuk dengan kriteria prestasi akademik yang tinggi, meskipun proses belajar dan mengajar tidak terlalu luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun dipastikan karena input yang unggul maka output yang hasilkan juga unggul.
b.Tipe Kedua
Yaitu sekolah yang menawarkan fasilitas yang serba mewah, yang ditebus dengan SPP yang sangat tinggi, otomatis prestasi akademik yang tinggi bukan menjadi acuan input untuk diterima di sekolah ini, namun sekolah ini biasanya mengandalkan beberapa jurus pola pelajar dengan membawa pendekatan teori tertentu sebagai daya tariknya, sehingga output yang dihasilkan dapat sesuai dengan yang dijanjikan.
c.Tipe Ketiga
Yaitu sekolah yang menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah. Menerima dan mampu memproyek siswa yang masuk sekolah tersebut dengan prestasi rendah menjadi lulusan yang bermutu tinggi .

Jadi dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu ditunjukkan prestasinya sekaligus potensi psikis, etika, moral, religius , emosi, spirit, kreatifitas serta intelegensinya.

Akan tetapi realita yang terjadi sekolah unggulan itu tidak otomatis mencerminkan realitas empirisnya sebagai sekolah yang unggul, sebab antara unggulan dan unggul itu merupakan dua hal yang berbeda. Artinya sebutan itu dapat menyesatkan warga masyarakat yang tidak kritis. Masyarakat akan memasuki sekolah unggulan itu dengan maksud untuk mencapai kualitas yang maksimal, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Memang betul ada sekolah unggulan yang unggul, tapi tidak semua sekolah unggulan adalah sekolah unggul. Wajar bila kemudian sekolah – sekolah yang masuk kategori sekolah unggulan, tidak secara otomatis ke dalam daftar sekolah unggul berdasarkan pencapaian nilai akhir ujian nya .

2.Dimensi Keunggulan.
Dimensi keunggulan dalam sekolah paling tidak meliputi hal – hal sebagai berikut:
a.Para calon siswa yang akan memasuki sekolah yang bersangkutan diseleksi secara ketat yang menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan .
Kreteria umum yang dipakai adalah prestasi belajar superior dan skor psikotes.
b.Sarana dan prasarana diarahkan untuk menunjang secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa serta penyaluran bakat dan minatnya, baik dalam kegiatan kurikulum maupun ekstra kurikulum. Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses belajar mengajar misal media pembelajaran dan alat - alat pelajaran, sedang prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misal penerangan sekolah, kamar kecil dan lain – lain
c.Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan menjadi keunggulan yang riil, baik lingkungan dalam arti fisik maupun sosial psikologis
d.Guru yang kreatif dan profesional, serta unggul baik dalam bidang penguasaan materi maupun metode pembelajaran. Guru kreatif mengandung pengertian ganda yaitu guru yang secara kreatif mampu menggunakan pelbagai pendekatan dalam proses pembelajaran dan membimbing peserta didik dan guru yang senang melakukan kegiatan- kegiatan kreatif dalam hidupnya . Untuk mendapatkan guru yang kreatif dan profesional perlu diadakannya kegiatan - kegiatan yang berupaya meningkatkan skill dan profesionalisme guru .
e.Kurikulum yang jelas, Kontek ini tetap berpegang pada kUrikulum Nasional yang standar, namun dilakukan semacam modifikasi secara maksimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik. Misalnya dengan menerapkan kurikulum teknologi yang menekankan pad efektifitas program metode dan material untuk mencapai suatu manfaat dan keberhasilan. Teknologi mempengaruhi kurikulum dalam dua cara yaitu aplikasi dan teori. Aplikasi teknologi merupakan suatu rencana penggunaan beragam alat dan media, atau tahapan basis intruksi, sebagai teori teknologi digunakan alam pengembangan evaluasi material kurikulum dan instruksional .
f.Rentang waktu belajar di sekolah lebih panjang atau lebih lama dibandingkan dengan sekolah - sekolah umum lainnya. Hal ini salah satunya bertujuan untuk mengantisipasi kekurangan jam pelajaran agama di sekolah - sekolah umum .
g.Partisipasi orang tua atau masyarakat yang aktif dalam kegiatan sekolah, kontribusi orang tua dalam kegiatan sekolah misalnya di libatkannya orang tua dalam penyusunan kurikulum sekolah, sehingga orangtua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam mendidik anak sesuai tujuan yang telah dirumuskan, sehingga terjadi sinkronisasi antar pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah, selain itu orang tua diberi kesempatan untuk bersama sama menganalisa seluruh infrastruktur yang ada di sekolah baik menyangkut SDM, sarana prasarana, sistem informasi dan semua yang dianggap punya keterkaitanh.Jaringan organisasi yang solid , baik organisasi guru atau orangtua. Hal ini dapat menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya untuk belajar dan terus berkembang, serta perlu pula dialog antar organisasi tersebut, misalnya forum orangtua murid dengan guru dalam menjelaskan harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru dalam kelas.
i.Proses belajar dan mengajar yang berkualitas , serta hasilnya selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa, lembaga dan masyarakat.

c. Kelemahan - Kelemahan Sekolah unggulan.
Kalau kita cermati bersama secara mendalam, banyak sekolah unggulan yang secara pedagogis menyesatkan, bahkan merugikan bagi pendidikan. Adapun diantara kelemahan dari sekolah unggulan yaitu :
1).Sekolah Unggulan hanya mengandalkan legitimasi pemerintah dan bukan inisiatif masyarakat, sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politik, daripada edukatif. Kadang ujung ujungnya juga uang, kalau sekolah unggulan didasarkan pad pengakuan masyarakat, pemerintah tidak perlu mengucurkan biaya besar, biar masyarakat yang memikirkan biaya itu.
2).Sekolah hanya melayani golongan kaya, sementara golongan miskin masih terpinggirkan meski prestasi akademiknya bagus. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain memiliki kemampuan akademis anak didik harus membayar puluhan juta rupiah, sehingga penyelenggaraan sekolah unggulan sering kali bertentangan dengan prinsip Equity, yakni terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi siswa untuk memperoleh pendidikan di semua jenjang, jenis dan tingkatan.
3).Profil sekolah unggulan hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang berupa NEM tinggi, bisa dibayar mahal, tenaga pendidik baik, sarana lengkap, dana sekolah besar dan kegiatan belajar mengajar berikut pengelolaannya bagus, diproses di tempat bagus dengan cara bagus hingga outputnya bagus, seharusnya yang di kategori sekolah unggulan adalah anak didik dari warga miskin tapi proses di sekolah baik, dengan cara baik, untuk itu perlu redefinisi dan reorientasi sekolah unggulan.[3]

DAFTAR PUSTAKA

Sidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Raflis Kosasi, (1999), Profesi Keguruan, Jakarta : PT Rineka Cipta
Abu Ahmad, (2001), Ilmu Pendidikan, Jakarta : PT Rineka Cipta




[1]Made Sidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia(Jakarta:PT Rineka Cipta,2004)
[2]Abu Ahmad,Ilmu Pendidikan (Jakarta:PT Rineka Cipta,2001)
[3]Raflis Kosasi,Profesi Keguruan(Jakarta:Rineka Cipta,1999)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makalah: Fenomena Sekolah Unggul Dan Sekolah Mahal"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel